Sunday, August 23, 2009

Glomerulonefritis Penyebab Terbesar Penyakit Ginjal Tahap Akhir

Glomerulonefritis (radang ginjal) merupakan penyebab terbesar penyakit ginjal tahap akhir, selain hipertensi, penyakit ginjal polikistik, dan penyakit ginjal obstruksi infeksi. Penyakit ini mengenai bagian glomerulus akibat reaksi antigen dan antibodi. Antigen yang membentuk kompleks antigen-antibodi ikut mengalir dalam darah dan mengendap dalam ginjal. Akhirnya, terjadi reaksi inflamasi yang menyebabkan kerusakan ginjal.Glomerulonefritis yang rusak menyebabkan kebocoran protein atau adanya sel darah merah dalam urin. Berdasarkan data, penyakit ini mengenai sekitar 39,64% dari seluruh penyebab penyakit ginjal tahap akhir. Deteksi dini kelainan ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan proteinuria dan hematuria. Demikian ulasan yang mengemuka dari kegiatan Simposium Awam dengan tema “Gagal Ginjal, Dialisis, dan Transplantasi” yang diadakan pada 8 Juni 2002, di Aula Perpustakaan Nasional RI, Jakarta. Narasumber dalam simposium tersebut di antaranya Prof. Dr. Wiguno Prodjosudjadi, PhD, SpPD-KGH; Dr. H.M.S. Markum, SpPD-KGH; dan Prof. DR. Dr. Endang Susalit, SpPD-KGH. Seperti diterangkan Prof. Wiguno bahwa jika proteinuria terjadi menetap maka harus dilakukan pembatasan asupan protein agar protein yang keluar dalam urin tidak bertambah. Pada penderita gagal ginjal juga kerap terjadi sindrom nefrotik, yakni proteinuria yang terjadi secara masif lebih dari 3.5g / 24 jam urin dan disertai dengan tanda lain seperti pembengkakan pada tungkai, muka, atau asites. Jika hal ini terjadi, biopsi ginjal dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis sehingga pengobatan yang terarah dapat dilakukan. Selain itu, untuk mencegah penurunan fungsi ginjal lebih lanjut, harus dilakukan diet terhadap faktor yang dapat memperburuk fungsi ginjal seperti menurunkan asupan protein yang berlebih, menurunkan asupan zat atau obat yang bersifat toksik, mencegah kehilangan cairan, dan mencegah infeksi. Terapi pengganti pada pasien gagal ginjal seperti diterangkan Endang Susalit terdiri dari dialisis dan transplantasi ginjal. Di Indonesia, pelayanan dialisis yang paling banyak dilakukan adalah hemodialisis yang menggunakan membran sintetik semipermeabel. Selain hemodialisis, dialisis peritoneal juga dapat dilakukan sebagai terapi pengganti. Terapi ini dilakukan dengan memasukkan cairan dialisat ke dalam rongga peritoneum, dibiarkan beberapa waktu, kemudian dikeluarkan dan diisi kembali dengan cairan dialisat yang baru. Hal yang sama juga diterangkan oleh H.M.S Markum. Hemodialisis merupakan proses pembersihan darah dari zat-zat toksik, air, dan cairan elektrolit dengan menggunakan ginjal buatan yang terbuat dari selaput semipermeabel. Hemodialisis dapat dilakukan pada pasien gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik. Namun demikian, penyulit yang mungkin timbul harus diantisipasi untuk mencegah terjadi komplikasi. Misalnya mengontrol penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan komplikasi seperti tekanan darah tinggi dan kencing manis. Hemodialisis juga dapat dilakukan pada pasien gagal ginjal karena sumbatan batu yang akan menjalani operasi dan pasien yang menunggu cangkok ginjal. Selain hemodialisis, pada pasien gagal ginjal tahap akhir dapat dilakukan terapi pengganti lain, yakni transplantasi ginjal. Terapi ini dilakukan pada keadaan di mana fungsi ginjal sudah sangat menurun. Terapi ini merupakan terapi yang paling ideal karena lebih unggul dari segi prosedur, peningkatan kualitas hidup, dan ketergantungan pada fasilitas medik. Menurut Endang Susalit, sebelum dilakukan transplantasi ginjal, terlebih dahulu harus dipastikan bahwa pasien mengalami gagal ginjal tahap akhir. Selain itu, calon resipien harus diseleksi untuk mengidentifikasi adanya masalah medik, sosial, dan psikologis yang dapat menghambat keberhasilan transplantasi ginjal. Donor ginjal dapat berasal dari donor hidup atau donor jenasah (kadaver).Transplantasi dari donor yang hidup memberikan hasil yang lebih baik. Donor hidup adalah donor yang masih hidup dan mempunyai pertalian secara genetik dengan resipien. Pasien yang menjalani transplantasi dengan donor hidup memiliki survival rate selama 10 tahun dan dengan penggunaan obat-obatan dapat dipertahankan sampai 20--30 tahun. Pada donor kadaver ginjal, donor jenazah dalam waktu singkat harus segera dipindahkan ke resipien. Saat ini dikembangkan donasi ginjal dari jenazah dengan jantung yang sudah tidak berdenyut lagi. Keuntungan donor ini tidak ada risiko pada donor, dan ginjal donor dapat diberikan pada resipien yang paling sesuai. Namun demikian, sampai saat ini di Indonesia belum ada kesepakatan mengenai donor kadaver. Sedangkan transplantasi ginjal dengan donor hidup pertama kali dilakukan pada 1977. Sampai saat ini sudah dilakukan 379 transplantasi, baik di unit-unit transplantasi di Jawa maupun di luar Jawa. Source : ikcc.or.id

No comments:

Post a Comment