Friday, June 25, 2010

Tips Membatasi/ Mengontrol Asupan Cairan bagi Penderita Gagal Ginjal

- Makanan yang terlalu asin dan pedas akan membuat haus. Untuk itu batasi konsumsi makanan yang mengandung terlalu banyak sodium dan pedas.
- Berhati-hatilah terhadap makanan yang banyak mengandung cairan. Cairan tidak hanya apa yang kita minum tapi juga apa yang dimakan. Beberapa makanan seperti semangka dan buah-buahan lainnya, sup, ice cream mengandung cairan yang tinggi.
- Usahakan lebih banyak mengkonsumsi minuman yang dingin dibandingkan dengan minuman yang panas.
- Minum minuman dengan cara menyeruput untuk menimbulkan sensasi cairan dalam mulut lebih lama. Gunakan juga gelas yang kecil.
- Gunakan makanan sebagai pengganti minuman untuk membantu menelan obat-obatan.
Hindari bibir kering. Bibir kering dapat menimbulkan ketidaknyamanan yang menimbulkan keinginan untuk minum. Banyak cara agar mulut tidak kering antara lain dengan kumur-kumur, menggosok gigi, menghisap permen atau mengolesi bibir dengan es batu atau mengkonsumsi satu potong jeruk dingin.
- Apabila pasien mempunyai diabetes pastikan kadar glukosa darah tetap terjaga. Kadar glukosa darah yang tinggi akan meningkatkan rasa haus.
- Jangan terlalu lama berada di tempat yang berhawa panas.
- Mandi dengan air dingin
Source : IKCC

Gangguan Fungsi Ginjal Terkait dengan Risiko Kardiovaskular yang Lebih Tinggi pada Orang dengan HIV

Beberapa pengamatan penelitian telah menunjukkan bahwa orang dengan HIV lebih berisiko terhadap penyakit jantung, tapi apakah ini disebabkan oleh infeksi HIV itu sendiri, terapi antiretroviral (ART), faktor-faktor risiko tradisional seperti merokok, atau beberapa kombinasi dari faktor-faktor, tidak sepenuhnya dipahami.

Elizabeth George dari All India Institute of Medical Sciences di New Delhi dan rekan dari Johns Hopkins merancang studi untuk menilai korelasi antara fungsi ginjal dan risiko kejadian kardiovaskular pada orang dengan HIV.

Literatur menunjukkan hubungan yang kuat antara gangguan fungsi ginjal dan kejadian kardiovaskular dan mortalitas pada orang HIV-negatif, para peneliti mencatat hal ini sebagai latar belakang. Namun, banyak penelitian mengenai masalah jantung pada orang dengan HIV – termasuk studi besar D:A:D dan SMART – tidak mengumpulkan data fungsi ginjal.

Peserta penelitian studi kasus kontrol ini adalah 315 orang dengan HIV di Johns Hopkins HIV Clinical Cohort, 63 di antaranya telah mengalami kejadian kardiovaskular dan 252 peserta kontrol. Secara demografis, karakteristik kelompok kasus dan kontrol adalah serupa (kebanyakan adalah laki-laki), dan memiliki tingkat obesitas yang sebanding, merokok, memiliki riwayat penyakit jantung dalam keluarga, dan penggunaan ART.

Namun, pasien dengan peristiwa kardiovaskular, secara signifikan memiliki penyakit HIV lanjut daripada mereka yang tidak memiliki penyakit lanjut (49% vs 25% dengan jumlah CD4 <200), dan lebih cenderung memiliki diabetes (32% vs 11%), tekanan darah tinggi ( 64% vs 37%), lipid darah abnormal (71% vs 48%), dan sejarah peristiwa kardiovaskular sebelumnya (41% vs 7%).

Fungsi ginjal dinilai dengan perkiraan laju filtrasi glomerulus (eGFR), dihitung dengan menggunakan rumus Chronic Kidney Disease Epidemiology Collaboration (CKDEC) dan persamaan Modification of Diet in Renal Disease (MDRD); skor yang lebih rendah menunjukkan fungsi yang kurang. Mereka juga melihat kehadiran protein dalam urin (proteinuria).

Hasil

Rata-rata eGFR secara signifikan lebih rendah pada pasien yang mengalami kejadian kardiovaskular dibandingkan dengan subyek kontrol:

68,4 vs 103,2 ml/min per 1,73 m2 oleh CKDEC (P <0,001);
69,0 vs 103,1 ml/min per 1,73 m2 oleh MDRD (P <0,001).
Dalam analisis univariat, eGFR <60 ml / min per 1,73 m (CKDEC) dikaitkan dengan 15,9 kali lipat peningkatan risiko kejadian kardiovaskular (P <0,001).
Rata-rata serum kreatinin juga secara signifikan lebih tinggi pada pasien kasus dibandingkan dengan kontrol (2,4 vs 1,1 mg/dL; P <0,001).
Dalam analisis multivariat yang mengontrol faktor-faktor lain, sebuah penurunan eGFR dari 10 ml/min per 1,73 m2 dikaitkan dengan 20% peningkatan risiko kejadian kardiovaskular (rasio odds [OR] 1.2).
Pasien yang mengalami kejadian kardiovaskular adalah sekitar dua kali lebih mungkin untuk memiliki protein dalam urin mereka dibandingkan dengan subyek kontrol (51% vs 25%; P <0,001).
Proteinuria dikaitkan dengan peningkatan risiko kejadian kardiovaskular dalam univariat (OR 3,6) dan analisis multivariat (OR 2,2)
Peserta dengan eGFR <60 ml/min per 1,73 m2 (CKDEC) dan proteinuria memiliki 41 kali lipat peningkatan risiko kejadian kardiovaskular dibandingkan dengan mereka yang memiliki eGFR 90 ml/min per 1,73 m2 dan tidak ada proteinuria (OR 41,4; P <0,001).
Jumlah CD4 <200 juga merupakan prediksi yang signifikan dari peningkatan risiko kardiovaskular.
Dalam analisis yang disesuaikan, faktor-faktor risiko tradisional seperti diabetes, lipid darah yang abnormal, dan kejadian kardiovaskular sebelumnya tetap menjadi prediktor yang signifikan, tapi tekanan darah tinggi, obesitas, riwayat keluarga, atau viral load HIV tidak menjadi prediktor yang signifikan.
Berdasarkan temuan ini, para penulis penelitian menulis, “Studi kami menunjukkan hubungan independen yang signifikan antara penurunan fungsi ginjal dan peningkatan risiko kejadian kardiovaskular pada pasien yang terinfeksi HIV-1.”

“Dalam sebuah klinik HIV berbasis populasi, penurunan eGFR dikaitkan dengan peningkatan secara signifikan pada risiko peristiwa kardiovaskular independen dari faktor risiko kardiovaskular tradisional dan ART,” mereka menguraikan dalam diskusi mereka. “Sedangkan eGFR 60-89 ml/min per 1,73 m2 dikaitkan dengan meningkatnya risiko yang marginal, yang menjadi non-signifikan secara statistik setelah penyesuaian untuk faktor-faktor lain, eGFR kurang dari 60 ml/min per 1,73 m2 dikaitkan dengan peningkatan peluang kejadian kardiovaskular secara signifikan dari 5 kali lipat menjadi 6 kali lipat. “

Para peneliti mencatat bahwa mereka tidak menemukan hubungan yang bermakna antara kejadian kardiovaskular dan penggunaan ART secara keseluruhan, masing-masing kelas obat antiretroviral, atau abacavir (ABC; juga dalam koformulasi Epzicom dan Trizivir) atau ddI (ddI; Videx), seperti yang terlihat dalam beberapa – tapi tidak semua – penelitian sebelumnya.

Pada 5th International AIDS Society Conference on HIV Pathogenesis, Treatment and Prevention musim panas lalu, para peneliti melaporkan bahwa penyakit ginjal merupakan faktor perancu yang mungkin membantu menjelaskan hubungan yang diamati antara penggunaan abacavir dan peningkatan risiko serangan jantung.

“Penelitian kami menyoroti adanya hubungan yang kuat antara fungsi ginjal dan risiko penyakit kardiovaskular pada individu yang terinfeksi HIV, sebuah hubungan yang setidaknya sama kuat atau lebih kuat, daripada yang dilaporkan di populasi umum,” para penulis studi ini menyatakan. “Temuan ini penting karena prevalensi penyakit ginjal adalah 3 kali lipat sampai 5 kali lipat lebih tinggi pada orang yang terinfeksi HIV dibandingkan dengan orang HIV-negatif ...”

Dalam kesimpulannya, mereka menulis, “Temuan kami memerlukan konfirmasi lebih lanjut tapi menyarankan nilai potensial skrining dini dan pengobatan penyakit ginjal kronis bagi pasien yang terinfeksi dengan HIV-1, terutama dengan faktor-faktor risiko kardiovaskular lainnya.”

All India Institute of Medical Sciences, New Delhi, India; Division of Infectious Diseases, Division of Nephrology & Division of General Internal Medicine, Johns Hopkins University School of Medicine, Baltimore, MD; Department of Medicine, St. Luke’s Roosevelt Hospital Center, New York, NY.

Ringkasan: Kidney Impairment Linked to Higher Risk of Cardiovascular Events in People with HIV

Sumber: E George, GM Lucas, GN Nadkarni, and others. Kidney function and the risk of cardiovascular events in HIV-1-infected patients. AIDS 24(3): 387-394 (Abstract). January 28, 2010. Source :IKCC

Mengenal Kelainan Ginjal Anak

Meski ada yang bersifat bawaan, kelainan ginjal tidak selalu bisa terdeteksi sejak anak berada dalam kandungan. Ada yang baru terdeteksi sewaktu bayi, kala balita, bahkan ketika sudah duduk di bangku SD. Mengapa bisa demikian?

Tak lain karena kecurigaan yang biasanya diikuti dengan berbagai pemeriksaan baru akan dilakukan bila anak mengalami keluhan atau memperlihatkan tanda-tanda yang mengarah ke sana.

Menurut dr. Endang Lestari, S.pA dari RSAB Harapan Kita, Jakarta, kelainan ginjal bawaan dibedakan menjadi 2 jenis, yakni:

• Uropati kongenital berupa kelainan yang mengenai saluran-saluran yang terdapat di antara saluran kemih dan kandung kemih. Kelainannya meliputi infeksi saluran kemih, sumbatan di saluran kemih/kandung kemih, lemahnya klep antara kandung kemih dan saluran kemih.

• Nefropati kongenital berupa kelainan dari saluran kemih bagian atas hingga ginjal. Di antaranya ginjal kecil, ginjal bengkak, ginjal hanya satu, pertumbuhan ginjal tidak sempurna, kista pada ginjal dan hipoplasia.

KEMUNGKINAN PENYEBAB

Lebih lanjut, Endang menjelaskan beberapa faktor yang menjadi penyebab munculnya kelainan ginjal bawaan:

• Genetik
Walau persentasenya kecil, kelainan ginjal bawaan bisa saja karena faktor keturunan. Contohnya, ayah atau kakek-nenek yang memiliki kelainan ginjal bisa menurunkan gangguan/kelainan sejenis pada anak-cucu. Bentuk kelainannya bisa berupa pembengkakan ginjal, ginjal yang tak berkembang semestinya, atau hanya punya satu ginjal.

• Hamil di usia rawan
Yang termasuk dalam kategori ini adalah para ibu yang hamil di atas usia 40 tahun atau sebaliknya usia ibu masih terlalu muda saat hamil, yakni 17 tahun atau malah lebih muda. Kehamilan di usia rawan sangat memungkinkan janin mengalami pertumbuhan yang kurang optimal selagi dalam kandungan.

• Obat-obatan
Itulah mengapa tak henti-hentinya diserukan untuk berhati-hati mengonsumsi obat selama hamil. Terutama jenis antibiotika atau obat-obatan antikanker. Sederhananya, jangan pernah mengonsumsi obat tanpa sepengetahuan dokter.

• Radiasi
Faktor radiasi yang dimaksud di sini adalah bila si ibu terpapar X-Ray. Itulah mengapa di ruang radiologi untuk pemeriksaan rontgen jelas-jelas
terpampang larangan bagi perempuan yang tengah hamil.

BAGAIMANA MENDETEKSINYA?

Hidup di zaman yang serbacanggih dan modern seperti sekarang ini tentu saja memberi banyak kemudahan. Salah satunya, kata Endang yang merupakan dokter anak subspesialisasi nefrologi, teknologi dan ilmu pengetahuan kedokteran yang sudah sedemikian maju sehingga memungkinkan untuk mendeteksi kelainan ginjal bawaan sejak dini. Selagi masih dalam kandungan (tepatnya di trimester ketiga), dengan bantuan USG dokter bisa menemukan kecurigaan adanya kelainan/gangguan pada ginjal dan sistem kemihnya. Pada pembengkakan ureter, salah satu atau kedua ginjal janin tampak membesar.

Pada beberapa kasus, misalnya hidronefrosis, ada beberapa dokter yang berani melakukan tindak penanganan saat bayi masih dalam kandungan. Meski biasanya tindakan baru dilakukan oleh dokter ginjal anak setelah bayi lahir.

USG umumnya digunakan untuk memastikan kondisi ginjalbayi. Setelah itu barulah dilakukan tindakan yang disesuaikan berdasarkan kondisi yang ditemui. Apakah lewat operasi, terapi, atau penyedotan cairan saja. Sayangnya, ada juga gangguan ginjal bawaan yang tidak terdeteksi saat di dalam kandungan. Gangguan ini umumnya baru terdeteksi sesudah si bayi lahir dengan memperlihatkan tanda-tanda, di antaranya 2 hari tidak BAK, kesulitan kencing, atau ada benjolan di samping kanan/kiri perutnya. Jika menemukan ciri-ciri tersebut biasanya dokter akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut atau merujuk ke dokter anak yang mendalami ginjal guna mendapat pemeriksaan dan penanganan semestinya.

Sementara pada usia balita, kelainan ginjal bawaan umumnya baru bisa terdeteksi saat anak menunjukkan gejala. Di antaranya sakit kala kencing, kencingnya sedikit-sedikit, kencingnya keruh, atau keluhan kencing yang dibarengi dengan naiknya suhu tubuh. Sebagai penanganan pertama biasanya akan diberi obat untuk tenggang waktu 2 minggu. Jika gejala-gejala menghilang berarti tidak ada masalah berarti. Namun perlu dicermati dengan saksama bila gejala serupa muncul kembali beberapa hari kemudian, atau meski sudah diobat kondisinya tak kunjung membaik. Yang bersangkutan perlu penanganan spesifik berupa pemeriksaan ginjal untuk mengetahui apakah ada penyumbatan, mengalami pengecilan, atau ada tidaknya infeksi ginjal.

Sementara pada usia sekolah, anak dicurigai mengalami kelainan ginjal bawaan kalau anak mengeluh perutnya sering sakit. Dari keluhan yang terlalu sering ini biasanya dokter akan melakukan USG. Nah, dari pemeriksaan inilah akan terlihat apakah anak memiliki dua ginjal sebagaimana mestinya atau mungkin malah hanya satu.

Kista pada ginjal juga merupakan kasus kelainan ginjal bawaan yang sering terdeteksi di usia sekolah tanpa sengaja. Misalnya saat melakukan pemeriksaan untuk penyakit lain, kebetulan terdeteksi ada kista pada ginjalnya. Menurut Endang, jika kistanya besar akan diambil, tapi jika kecil akan dibiarkan selama tidak menimbulkan masalah.

Bentuk kelainan/gangguan berikutnya adalah adanya sumbatan pada saluran kemih akibat kelainan ginjal bawaan. Entah itu sumbatan antara saluran kemih dengan ginjal ataupun saluran kemih dengan kandung kemih.

Kondisi ini biasanya terdeteksi kala anak mengalami infeksi saluran kemih. Seseorang yang mengalami infeksi saluran kemih biasanya akan mengalami beberapa gejala berikut, di antaranya perut bagian bawah sering terasa sakit, air seni berwarna keruh, anyang-anyangan (kencing sedikit-sedikit disertai perasaan tidak enak), sakit sewaktu buang air kecil atau keluhan lainnya, disertai demam tinggi yang tiada kunjung mereda meski sudah diberi obat penurun panas.

Semua keluhan tadi, kata Endang, bila bisa teratasi dengan obat, berarti bukan kelainan ginjal bawaan. Sebaliknya, jika sudah diobati tidak kunjung membaik atau sembuh namun beberapa hari kemudian kambuh kembali, tidak bisa dipungkiri lagi yang bersangkutan mengalami kelainan ginjal bawaan. Jadi, antara yang bawaan dan bukan bawaan memang tipis sekali perbedaannya.

TAK MESTI OPERASI

Dalam kasus kelainan ginjal bawaan, penanganannya akan dilakukan secara
bertahap. Pertama, menangani komplikasinya dulu. Jika ada infeksi saluran kemih, infeksinya akan segera diatasi sambil dicari terus apa penyebabnya. Kedua, setelah penyebabnya ditemukan tentu langkah selanjutnya adalah tindakan untuk menangani penyebabnya. Bila akibat sumbatan, tentu akan diupayakan untuk menghilangkan sumbatan tersebut. Begitu juga kalau disebabkan oleh klep di kandung kemih yang tidak baik, akan dibuatkan klep baru.

Demikian pula jika menemukan permasalahan lain. Yang pasti tidak selamanya kelainan ginjal bawaan harus dituntaskan di meja operasi. Logikanya, bila masih bisa ditangani dengan cara/terapi nonbedah, kenapa harus memilih jalur operasi yang jelas-jelas tidak murah. Contohnya, masalah refluks akibat kurang berfungsinya klep di kandung kemih.

Kelainan stadium 1 atau 2 biasanya bisa ditangani dengan obat. Selama proses pengobatan diharapkan terjadi proses pematangan/penyempurnaan klep tersebut secara alamiah. Nah, seiring bertambahnya usia anak dan selesai pula terapi obat tadi, dokter akan mengevaluasi kembali.

Jika penanganannya terlambat dan kurang tepat hingga infeksinya menjadi parah, besar kemungkinan anak akan mengalami gagal ginjal. Kalau sudah begini tidak ada cara lain kecuali harus menjalani transplantasi ginjal atau cuci darah (hemodialisis).

Baik dialisis yang dilakukan dengan bantuan mesin khusus di rumah sakit maupun peritonial dialisis (cuci darah melalui perut) yang bisa dilakukan mandiri di rumah secara berkala setiap beberapa jam sekali. Sebaliknya, jika sejak awal mendapat penanganan cepat dan infeksinya segera diatasi, ke depannya anak dengan kelainan ginjal dapat hidup normal tanpa keluhan apa pun. Source :IKCC

Donor Organ Ginjal Tidak Mempercepat Kematian

Sumbangan atau donor organ ginjal dari orang yang masih hidup dan sehat tidak memberikan efek yang signifikan dalam mempercepat kematian si pedonor. Namun pedonor ginjal harus memperhatikan kesehatannya karena tinggal punya satu ginjal.

Dr Dorry Segev dari Johns Hopkins University School of Medicine mengatakan tidak ada risiko kematian yang lebih cepat bagi pedonor ginjal.

Kesimpulan ini diambil setelah tim peneliti menganalisa 80.347 orang Amerika sehat yang telah menyumbangkan salah satu ginjalnya sejak 1 April 1994 dan peneliti memeriksa pendonor kembali setelah 12 tahun operasi.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meyakinkan orang untuk mendonorkan salah satu ginjalnya sehingga memperpendek daftar tunggu donor organ yang ada.

Selama ini donor ginjal banyak dilakukan orang yang sudah meninggal. Saking minimnya yang melakukan donor, pasien yang butuh donor harus menunggu lama bahkan hingga meninggal belum mendapat donor ginjal. Source : IKCC

"Kami telah menunjukkan bahwa sumbangan atau donor organ ginjal dari orang yang masih hidup dan sehat tidak memberikan efek yang signifikan dalam mempercepat kematian," ungkap Dr Segev seperti dikutip dari Reuters, Rabu (10/3/2010).

Dr Segev dan rekannya melaporkan hasil penelitian ini dalam Journal American Medical Association.

"Kematian yang diakibatkan pembedahan tidak berubah selama periode 15 tahun (antara 1994-2009), meskipun terdapat perbedaan dalam hal praktik bedah donor," ujar Dr Dorry Segev dari Johns Hopkins University School of Medicine di Baltimore.

Risiko kematian hanya ada sedikit ketika proses donor ginjal pada 90 hari pertama setelah operasi, yaitu sekitar 25 orang meninggal.

Tapi dalam tindak lanjut berikutnya, periode tingkat kematian di kalangan donor yang cocok ditemukan lebih rendah dibandingkan dengan operasi yang bukan donor.

Selain itu peneliti menemukan pedonor laki-laki memiliki statistik tingkat kematian lebih tinggi daripada perempuan dalam satu tahun operasi. Namun hal ini belum dapat diketahui dengan pasti apa yang menjadi penyebabnya.

Hidup dengan satu ginjal memang tidak sama dengan dua ginjal. Tapi selama orang tersebut bisa menerapkan pola hidup yang sehat dan tidak melakukan aktivitas yang berlebihan maka melakukan donor ginjal tidak akan memicu timbulnya masalah apapun.

Hal yang harus dilakukan sebelum melakukan donor ginjal adalah melakukan beberapa pemeriksaan yang berkaitan dengan kecocokan organ dengan si penerima atau tidak serta pendonor. Baru setelah dinyatakan sehat, pedonor boleh mendonor oleh dokter yang berwenang.

Donor Organ Ginjal Tidak Mempercepat Kematian

Sumbangan atau donor organ ginjal dari orang yang masih hidup dan sehat tidak memberikan efek yang signifikan dalam mempercepat kematian si pedonor. Namun pedonor ginjal harus memperhatikan kesehatannya karena tinggal punya satu ginjal.

Dr Dorry Segev dari Johns Hopkins University School of Medicine mengatakan tidak ada risiko kematian yang lebih cepat bagi pedonor ginjal.

Kesimpulan ini diambil setelah tim peneliti menganalisa 80.347 orang Amerika sehat yang telah menyumbangkan salah satu ginjalnya sejak 1 April 1994 dan peneliti memeriksa pendonor kembali setelah 12 tahun operasi.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meyakinkan orang untuk mendonorkan salah satu ginjalnya sehingga memperpendek daftar tunggu donor organ yang ada.

Selama ini donor ginjal banyak dilakukan orang yang sudah meninggal. Saking minimnya yang melakukan donor, pasien yang butuh donor harus menunggu lama bahkan hingga meninggal belum mendapat donor ginjal.

"Kami telah menunjukkan bahwa sumbangan atau donor organ ginjal dari orang yang masih hidup dan sehat tidak memberikan efek yang signifikan dalam mempercepat kematian," ungkap Dr Segev seperti dikutip dari Reuters, Rabu (10/3/2010).

Dr Segev dan rekannya melaporkan hasil penelitian ini dalam Journal American Medical Association.

"Kematian yang diakibatkan pembedahan tidak berubah selama periode 15 tahun (antara 1994-2009), meskipun terdapat perbedaan dalam hal praktik bedah donor," ujar Dr Dorry Segev dari Johns Hopkins University School of Medicine di Baltimore.

Risiko kematian hanya ada sedikit ketika proses donor ginjal pada 90 hari pertama setelah operasi, yaitu sekitar 25 orang meninggal.

Tapi dalam tindak lanjut berikutnya, periode tingkat kematian di kalangan donor yang cocok ditemukan lebih rendah dibandingkan dengan operasi yang bukan donor.

Selain itu peneliti menemukan pedonor laki-laki memiliki statistik tingkat kematian lebih tinggi daripada perempuan dalam satu tahun operasi. Namun hal ini belum dapat diketahui dengan pasti apa yang menjadi penyebabnya.

Hidup dengan satu ginjal memang tidak sama dengan dua ginjal. Tapi selama orang tersebut bisa menerapkan pola hidup yang sehat dan tidak melakukan aktivitas yang berlebihan maka melakukan donor ginjal tidak akan memicu timbulnya masalah apapun.

Hal yang harus dilakukan sebelum melakukan donor ginjal adalah melakukan beberapa pemeriksaan yang berkaitan dengan kecocokan organ dengan si penerima atau tidak serta pendonor. Baru setelah dinyatakan sehat, pedonor boleh mendonor oleh dokter yang berwenang.